BREAKING NEWS

AZAN : Seruan Persatuan

azan, dalil azan, sejarah azan, manfaat azan
AZAN : SERUAN PERSATUAN

Allaahu akbar! Allaahu akbar! (2X)
Asyhadu an laa ilaaha illallaah! (2X)
Asyhadu anna muhammadan rasulullaah! (2X)
Hayya ‘ala as-shalaah! (2X)
Hayya ‘ala al-falaah! (2X)
Allaahu akbar! Allaahu akbar!
Laa ilaaha illallaah!


Akhir-akhir ini perhatian kita tertuju pada sebuah kota kecil penghasil lemang dan kerang di Sumatera Utara. Di kota ini pula sering berlabuh barang-barang selundupan dari negeri Jiran. Tanjungbalai nama kota itu. Kota elok dan bersahaja ini menyita waktu, bahkan kabarnya sudah sampai di telinga sang Punakawan negeri, Tuan Jokowi. Adalah seorang wanita paruh baya keturunan negeri Tirai Bambu bernama Merliana yang membuka cerita. Ia tinggal di sebuah rumah yang terletak persis bersebelahan masjid, dan dari kabar yang beredar, telinganya tak terima mendengar seruan yang setidaknya berulang lima kali sehari itu. Merliana pun mengajukan keberatan kepada pihak masjid, dan puncaknya terjadilah amuk massa yang melibatkan umat Muslim yang marah. Beberapa vihara dan klenteng yang selama ini adem ayem berdiri ikut menjadi korban. Begitupun banyak rumah dan harta benda milik kaum bermata sipit ini tak luput dari hantaman massa yang sudah mendidih darahnya.

Kita mungkin masih belum lupa bagaimana gencarnya upaya yang diajukan oleh teman-teman pengasong paham sepilis-sekularis, prularis, liberalis-terhadap berbagai sendi keyakinan dan tuntunan Islam. Mereka turut berkomentar terhadap kejadian yang sebenarnya tak begitu penting mereka komentari. Azan yang selama ini akrab di telinga kita, dan menjadi penanda masuknya waktu shalat, dituding sebagai biang keladi aksi massa negeri Kerang. Azan pula yang dituduh menyebabkan polusi suara. Alasannya sederhana, “Untuk apa mengumumkan ‘Tuhan Maha Besar, Tuhan Maha Besar’, toh Tuhan sendiri sudah tahu kalau Ia Maha Besar? Untuk apa pula mendeklarasikan syahadatmu di depan orang banyak, hanya supaya orang mengira dirimu beragama Islam? Bikin polusi suara saja!” dan berbagai pernyataan bernada serupa.

Ikhwah fillah,

Mari sejenak kita flashback ke masa lampau, ketika sang Nabi bersama sahabat-sahabatnya masih berada di tengah-tengah kaum muslimin. Dalam hal ini, jangan kita lupakan seorang bekas budak yang hitam kulitnya, besar betisnya, pecah-pecah tumitnya, yang amat dicintai kekasihnya, Muhammad saw. Bekas budak yang pernah ditindih batu besar diatas gurun pasir Arabia yang tandus dan panas, lalu ditebus oleh sahabat sekaligus mertua sang Nabi, Khalifah pertama dalam sejarah Islam, Abu Bakr ash-Shiddiq. Bekas budak ini bernama Bilal bin Rabbah. Betapa budak inilah yang pertama kali mengumandangkan seruan ini, seruan persatuan.

Kalau kita pernah mendengar sejarah bagaimana seruan ini muncul, kita akan melihat betapa Allah telah memberikan contoh kepada umat terbaik ini. Tatkala ummat Islam tiba di Madinah dari hijrah yang melelahkan itu, masuklah waktu shalat. Muncul usulan menggunakan terompet seperti kaum Yahudi, atau lonceng layaknya kaum Nasrani. Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasul berkehendak agar penanda itu menggunakan terompet, dan menyuruh sahabatnya memukul kentongan. Lalu Abdullah bin Zaid bermimpi, dalam mimpinya ia didatangi seseorang yang mengajarinya bacaan yang lebih baik daripada kentongan, terompet, dan lonceng. Perihal mimpi itu, ia ceritakan kepada Nabi saw. dan diperintahkanlah Bilal untuk mengumandangkan kalimat-kalimat dalam mimpi itu. Begitupun, sang Khalifah kedua, sosok yang tegas itu, Umar bin al-Khattab, bermimpi yang sama dengan Abdullah bin Zaid. Kalimat-kalimat itulah yang kemudian menjadi penanda masuknya waktu shalat. Itulah azan.

Mari kita cermati bagaimana seruan ini bermula. Ia diawali dari kebingungan, barangkali keresahan kaum Muslim yang hendak menunaikan shalat. Ia diawali dari keinginan kaum Muslim yang menginginkan adanya satu tanda yang sama untuk mengingatkan mereka masuknya waktu shalat. Lalu ada seorang yang bermimpi, didalam mimpi ia diajari kalimat-kalimat itu, ditanyakan kepada Nabi, disetujui oleh Nabi, lalu Nabi menyuruh seorang bekas budak berkulit hitam untuk menyerukannya. Betapa indah syariat ini. Mimpi itu, bukan mimpi sembarangan. Barangkali itu memang mimpi dari Tuhan. Lantas mengapa harus dari orang bernama Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab? Mengapa tak langsung Tuhan wahyukan kepada NabiNya yang mulia? Ini adalah upaya dari Tuhan menghindarkan agamaNya yang suci ini dari praktek monopoli dan dominasi penguasa. Bukankah Nabi sebagai penguasa dan pemimpin tertinggi saat itu? Tuhan ingin mengajarkan kepada hambaNya, bahwa kebenaran itu tidak mutlak semata-mata dari Nabi, melainkan dari orang lain yang memang berkata benar. Umat Islam waktu itu menginginkan satu tanda, cukup satu tanda untuk mengingatkan mereka kepada shalat. Tak perlu banyak tanda, itu persatuan! Karena shalat adalah simbol persatuan umat Islam, dimana hanya ada satu imam dan semua makmum wajib mengikut imam, maka azan sebagai syarat pra-shalat juga mestilah pada satu tanda.

Lantas, bagaimana dengan terompet, lonceng, kentongan, atau bahkan alat-alat lainnya tak digunakan untuk mengingatkan waktu shalat? Ini juga menunjukkan simbol kesatuan umat Islam, bahwa agama ini berbeda, sama sekali tidak ada kesamaan dengan agama lain! Maka agama yang mulia ini mestilah ditopang dengan kemandirian, bahwa kita tak perlu sama dengan agama lain-Nasrani, Yahudi, Majusi, atau agama apapun itu-, baik tata cara peribadatan, ideologi, ajaran, anutan dan panutan, dan segala bentuk identitas keagamaan lainnya. Islam adalah berbeda dengan yang lain, ia sebagaimana yang sering dikumandangkan teman-teman Ikhwanul Muslimin, ya’lu ‘ala kulli syai’in, diatas segala sesuatu. Atau pada ungkapan Al-Islam ya’lu wa la yu’la ‘alaihi, Islam itu teringgi dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya. Maka Islam, adalah agama pemersatu, dimana kita tunduk pada satu paham yang sama, Allah sebagai Sesembahan yang wajib disembah, dan Muhammad sebagai contoh panutan.

Lalu, mengapa harus Bilal, si bekas budak berkulit hitam itu yang diperintahkan mengumandangkan azan? Inilah satu proses ajaran Sang Nabi, bahwa kita tak harus melihat orang dari sisi fisiknya, dari golongannya, dari strata sosialnya. Lihatlah orang dari bagaimana kemampuannya, kredibilitasnya, dan potensi besarnya. Bilal mungkin tak berkompeten dalam menyenandungkan azan dengan merdu seperti qori-qori favorit kita hari ini. Tapi ia berkualitas dalam kerasnya suara, mengingat itu yang lebih penting dari sekedar menyenandungkan azan dengan merdu. Karena masa itu, alat pengeras suara belum ada, umat banyak yang tinggal berjauhan dengan masjid, dan Bilal, si bekas budak berbibir tebal itu mesti naik ke tingkap tertinggi dan menyerukan azan dengan keras. Inilah akhlak Islam, memandang orang dari kualitasnya, bukan sampul luarnya.

Maka, mari kita telaah kalimat-kalimat seruan yang setidaknya lima kali sehari kita dengar itu.

Seruan ini dimulai dari sebuah kalimat pengagungan, dimana nama Ilah yang disembah itu disebut sebagai yang pertama disambung dengan ism tafdhil ‘akbar’, sebagai arti ‘yang paling besar, yang Maha Besar’. Ini menunjukkan bahwa persatuan dimulai dari kalimat yang sama, bahwa persatuan dimulai dari hanya memuja satu Nama, satu Dzat, tidak boleh ada satupun yang membelot dari pemujaan terhadap Yang Satu ini. Maka simbol persatuan pertama ialah kesatuan paham bahwa kita hanya tunduk, patuh, taat kepada satu Dzat saja.

Lalu seruan ini disambung dengan dua kalimat yang lazim disebut ‘syahadat’, pengakuan, persaksian. Bahwa untuk bersatu bukan hanya keseragaman paham yang kita butuhkan, juga kesamaan persaksian. Bahwa dua kalimat syahadat ini sebagai prasyarat orang untuk bergabung dalam ajaran mulia ini. Bahwa dua kalimat ini, Allah sebagai Sesembahan yang tiada lagi sesembahan melainkan Dia, dan Muhammad sebagai utusan yang patut diteladani jalan hidupnya, maka dua kalimat ini menyiratkan persatuan. Bahwa untuk berjuang dalam agama yang suci ini, kita hanya bergantung pada satu tali yang diejawantahkan dalam dua kalimat pengakuan ini.

Lantas seruan ini dilanjutkan dengan ajakan untuk menunaikan shalat, ibadah yang minimal wajib dilaksanakan umat ini lima kali dalam sehari. Mengapa harus shalat, sementara banyak ibadah-ibadah lainnya yang disyariatkan pada umat ini? Karena pada shalat, anda dituntut untuk bersatu dalam jamaah, mengamini al-Fatihah bersama-sama, mengikut gerakan imam dalam keseragaman. Karena shalat dituntut untuk dilaksanakan setidaknya lima kali dalam sehari, dan itu menyiratkan bahwa pesan persatuan harus disampaikan sesering mungkin agar semakin menguat. Karena shalat adalah ibadah yang dihadiahkan khusus oleh Allah kepada NabiNya, Muhammad, dalam pengembaraan mi’rajnya. Karena shalat mengacu pada kiblat yang sama, sebuah kubus bernama Ka’bah di sebuah negeri bernama Makkah. Kita mengapresiasi betapa tangguh sang Khalilullah, Ibrahim dan anaknya, Isma’il membangun kubus yang sekarang ditawaf manusia seluruh dunia, sekaligus menghargai harap dan pinta sang Musthafa, Muhammad ketika memohon agar Allah memindahkan kiblat dari al-Quds ke Ka’bah. Sederhananya, karena timbulnya azan sebagai penanda masuknya waktu shalat, maka shalatlah ibadah yang dicantumkan dalam seruan ini.

Seruan ini diteruskan dengan seruan ‘Mari menggapai kemenangan!’. Kemenangan yang bukan hanya dimaknai menumpas musuh di arena peperangan, kemenangan yang bukan hanya dimaknai menguasai kekuatan musuh, kemenangan yang bukan hanya dimaknai menghancurkan mimpi musuh dan membangun kejayaan pribadi. Kemenangan yang nyata, fathan mubina, dan pertolongan Allah, nasrun minallah wal fath, itu adalah satu entitas perubahan, hijrahnya kekuatan lokal kepada energi multidimensional, yang pada akhirnya melahirkan satu peradaban baru yang berjasa dan berkesan mulia di mata manusia, peradaban Islam yang mengangkat derajat manusia pada tempat yang semestinya. Maka kemenangan itu harus dimaknai sebagai satu cita-cita penuh bagi para pejuang persatuan. Maka kemenangan dicitakan sebagai sarana mengaplikasikan syariat yang telah dimaktubkan Allah dalam kitabNya yang mulia, Al-Quran. Tugas kita adalah untuk menggenapi persyaratan-persyaratan untuk tercapainya kemenangan yang telah dijanjikan Allah itu.

Persyaratan-persyaratan itu kemudian tertuang dalam dua kalimat terakhir azan, Allahu akbar dan La ilaha illallah. Dua kalimat ini merupakan pengulangan dari kalimat-kalimat pertama azan, karenanya ia dimaknai sebagai kalimat penegasan. Bahwa untuk mencapai kemenangan, kita benar-benar harus mengagungkan siapa pemberi kemenangan itu. Bahwa untuk merengkuh kejayaan, kita mesti haqqul yaqin pada Yang Maha Esa, yang memberi kemenangan, kemuliaan, kejayaan, dan kekuasaan yang kita dambakan itu.

Ikhwah fillah,

Maka azan bukan ditafsirkan sebagai kegiatan yang hanya ada untuk memberitakan waktu shalat telah tiba. Azan juga bukan hanya ada pada lomba-lomba yang dilaksanakan pada peringatan hari-hari besar Islam saja. Azan bukan hanya berfungsi untuk diperdengarkan saat anak lahir ke dunia. Ia juga bukan untuk mengiringi jamaah haji yang hendak berangkat menunaikan rukun Islam kelima. Lebih dari itu, azan adalah pemersatu, ia adalah seruan untuk bersama. Ia ajakan untuk menyemangati hati kita agar bergabung dalam jamaah. Tak lagi memandang perbedaan pandangan fiqh dan mazhab sebagai pengoyak ukhuwah. Tak lagi memandang keragaman suku bangsa, ras, golongan, warna kulit dan ciri fisik lainnya sebagai perenggang cinta. Tak lagi memandang organisasi, partai, dan pandangan politik menjadi alasan perubuh rindu. Kita adalah satu, kita sama. Ingatkan diri dan saudara kita pada ungkapan Yadullah ma’al jama’ah, Tangan Allah bersama jama’ah. Kita adalah cinta yang telah dirahmati Tuhan dan dirindu Nabi kala saat-saat terakhir nafasnya. Kita adalah saudara.

“Orang mukmin yang satu dan orang mukmin yang lainnya bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” Hadits Riwayat Bukhari.


Dalam damai cinta, pada haru rindu,


Mahathir Matondang

Share this:

Post a Comment

 
Back To Top
Copyright © 2014 ItmusMedia.Com. Designed by OddThemes