Refleksi 3 Tahun Itmus; Quo Vadis Itmus Kita?
Kira-kira
3 tahun yang lalu, lelaki itu masih duduk di bangku Aliyah kelas XI. Duduk
menyepi, mengasingkan diri dari pergaulan teman-temannya. Menjauh dari
pergumulan dan keriuhan kelas yang saat itu tanpa guru. Sederhana saja pikirnya
saat itu, mengapa yang asing begitu dijauhi? Pandangannya tak sejauh
anak-anak muda seusianya, sebatas mengapa yang berbeda harus dikucilkan?
Pandangan seorang anak muda yang masih dalam masa pubertas dan baru mengenal
dunia. Pikirannya kalut, hatinya sulit. Otaknya yang baru menemukan gaya baru
kedewasaan berpikir malah dibikin sedemikian runyam. Ia tak dapat lagi
mengelak, harus bergerak. Dari situ ia mulai menyusun mimpinya.
Tak
sukar mempengaruhi jiwanya yang labil. Tak perlu berpayah pula mengubah
pendiriannya. Maka naluri kekanakannya yang serba ingin tahu mulai mencari.
Hingga ia memutuskan merobek secarik kertas, dan mulai menggambar. Ilusi,
imaji. Sebuah masjid, padi dan kapas, bulan dan bintang, serta sebuah pita
bertuliskan huruf Arab yang kata-katanya didapatkan dari papan motivasi yang
digantung di atap lorong madrasah. Ia dipandang aneh, gila, bermimpi terlalu
tinggi. Ia tahu banyak mata memandang sinis ke arahnya. Senyuman-senyuman yang
tersungging dari bibir teman-temannya begitu tajam menyayat. Kau itu jangan
bermimpi terlalu tinggi, nanti ujung-ujungnya jadi gila, begitu
hari-harinya diwarnai. Dan layaknya jiwa kanak-kanak yang tak bisa dilarang, ia
terus menggambar, menulis, dan menghamparkan mimpi-mimpinya. Gak akan bisa
kau capai itu, udahlah biasa aja, itu juga sering menemani
langkah-langkahnya. Tak ada pegangan. Tak ada teman berbagi. Jiwanya yang masih
kanak-kanak itu goyah. Gentar. Hampir rubuh.
Sebuah
ruang tempat berkumpulnya para petinggi organisasi kesiswaan telah menunggu
kehadirannya saat rehat tiba. Ia merasa bahwa tempat ini begitu hangat
menyambutnya, selamat datang, sahabatku. Bermesralah engkau disini
bersamaku, berlamalah engkau disini mengadu. Tumpahkan segala keluh, tuangkan
segala kesah. Tak perlu ragu, tak usah bimbang. Demikian kira-kira ruangan
itu menyambutnya. Layaknya kanak-kanak, ia bebas berkhayal, menghamparkan
imajinasi. Gaza, Chechnya, Bosnia, Pattani sekitarnya, Mindanao sekitarnya,
Kashmir, Xinjiang, bahkan negerinya sendiri, menjadi sumber inspirasi.
Al-‘Urwatul Wutsqa yang dikarsakan Jamaluddin al-Afghani berikut
Pan-Islamismenya menjadi ruh baru. Demikianlah hingga lelaki yang masih berjiwa
kanak-kanak itu menyatukan kata per kata, sebuah nama. Ittihadul Muslimin.
Persatuan Orang-orang Muslim.
*
Lelaki
itu begitu bersemangat. Ia rangkai gambar-gambar itu menjadi sebuah lambang,
simbol identitas perjuangannya. Lambang itu, yang mungkin dapat kita lihat pada
pin yang menggantung di tas-tas kita. Gambar itu, yang boleh kita temui pada rumah
ketiganya-sebakda rumah orangtuanya, dan masjid at-Tawwabin-sebuah laman pada
dunia tak nyata. Gambar itu, menjadi titik puncak kulminasi karsa, rasa, dan
ciptanya, idealisme yang dianutnya. Orangtua kita dahulu seringkali membekali
anaknya dengan cerita tentang lidi yang sendirian tak mampu mengusir debu,
hingga apabila lidi yang banyak dihimpun menjadi sebuah sapu lidi mampu
menyental setiap apapun yang menghalangi jalannya. Demikianlah lelaki itu
memaknai peribahasa masa kecilnya.
Meja
tempatnya belajar di kelas ditempeli gambar-gambar aneh tentang impiannya. Tak
ada siapapun yang boleh menggeser mejanya ke tempat lain. Dijaga ketat. Dirawat
sebagai anak sendiri. Memang, memang itulah anaknya. Bukan meja itu, tetapi
gambar-gambar itu. Gambar-gambar yang mewakili tekadnya yang terlalu nisbi
untuk dibulatkan. Ittihadul Muslimin yang disingkatnya menjadi Itmus itu malah
menguatkan ghirah anehnya. Yok kita bikin partai! ajaknya pada teman
sebangkunya. Temannya itu hanya tersenyum-senyum saja, si lelaki itu paham
maksudnya. Kalau ia tak setuju, itu wajar. Temannya itu menganggap ajakan
lelaki itu tak normal. Kalau pun ia setuju, itu hanya penghiburan agar tak
terlalu sakit hati ajakannya ditolak. Kalau toh jadi bikin partai, takkan
bertahan lama. Sudah terlalu banyak partai.
*
Kadang
menjadi kanak-kanak tak perlu dirisaukan. Sebab adalah langkah pertama
seseorang menempuh jalan hidupnya pada fase ini. Kanak-kanak yang kadang rewel,
rusuh, bahkan tak jarang menyebalkan itu pernah kita lewati. Tak perlu merasa
tinggi walau dewasa. Dewasa bukan soal usia, ia soal jiwa. Banyak kanak-kanak
menghabiskan usia emasnya dalam kedewasaan; soal asa, harapan, semangat, ghirah,
cita-cita, juga cinta. Kadang kala kita bergumam dalam hati, mereka,
kanak-kanak itu, seolah tiada lelahnya. Sejak bangun tidur hingga tidur kembali
berlari tiada henti. Tak teringat makan, tak terlintas mandi. Main. Tertawa.
Riang gembira. Tapi itulah kanak-kanak. Ia bergelora. Maka semestinya bukan
kita pupus ghirahnya dengan menyuruhnya berdiam diri agar tak mengganggu kerja
kita yang bergunung tinggi menjulang. Biarkan dan lepaskan saja mereka
berimajinasi. Toh itu caranya mengarungi hidup ini.
Dimasa
kecilnya, lelaki itu pernah dibekali oleh neneknya (Allah yarham) sebuah
peribahasa, Dari Kecil Teranjak-anjak, Sudah Besar Terbawa-bawa.
Peribahasa itu ia kenang sekali, ia dalam sekali. Meski saat itu ia tak paham
maknanya, ia sangat ingat peristiwa itu. Ia hapal betul bagaimana neneknya
menjuruskan kata-kata itu. Sakti memang. Tapi itulah kenangan masa kecilnya.
Kenangan yang senantiasa terngiang hingga peribahasa sakti itulah yang
melandasi mimpi-mimpi kecilnya yang khayali.
Memang
sejak kecil, lelaki ini punya niat membangun daulah. Setiap kali ayahnya
pulang kerja membawakan kertas-kertas yang dijilid untuk dijadikan tempat
menulis atau menggambar, selalu ia goreskan pena pada kertas itu, melukiskan
negara-negara dan keadaan masyarakatnya yang hanya ada didalam khayalan lelaki
itu. Pun kala bermain, hampir setiap hari ia memainkan permainan yang disenanginya,
membina negara dan masyarakat dalam negara itu. Entah apa nama permainan yang
sering ia perankan beserta kawan-kawannya kala hari menyongsong senja. Pun
permainan itu ia tahbiskan pada game online yang digandrungi kawula
remaja. Bukan perang-perangan sebagaimana yang sering kita saksikan pada
warung-warung penyedia jasa game online itu. Ia lebih cinta damai.
*
Masalahnya
sekarang, Itmus yang dia cita-citakan bakal membangun masyarakat bertamaddun
itu tampak tak seperti seharusnya. Tiga tahun berlalu setelah Itmus yang
dirancangnya untuk kekuatan politik umat bakda kemerosotan (partai-partai,
politisi, dan masyarakat) Islam malah seperti ayam sakit yang menunggu jemputan
Izrail. Tak ada tanda-tanda kehidupan ‘membara’ disana. Pinomat sekadar
kuali yang sedang memanaskan kuah keberlangsungan dienullah ini pun tak
menggelegak. Ia mafhum, orang-orang ini, yang sekarang duduk dan merasa
petinggi di Itmus ini, adalah orang-orang yang dahulu mengecamnya, yang dahulu
menyunggingkan senyum nista, olok-olok merendahkan cita-cita. Mereka yang
sekarang merasa ‘penting’ di Itmus (entahlah mereka ini paham luar kepala
sejarah Itmus), adalah yang dahulu melontarkan kalimat-kalimat semacam ‘kau
itu jangan bermimpi terlalu tinggi, nanti ujung-ujungnya jadi gila’, ‘kayak
bisa aja kau bikin itu’, ‘ada-ada aja kau ini, gak yakin aku kau bisa
kayak gitu’, dan berbagai kalimat bernada serupa. Mereka ini yang
menjauhkan Itmus dari khittahnya semula, wa’tashimuu bihablillaahi
jamii’an walaa tafarraquu. Mereka ini yang sekarang merangkai
keanehan-keanehan di tubuh Itmus, yang semakin membuat cita-citanya makin jauh
panggang dari api. Mereka yang bahkan membuat lelaki itu makin berjarak dengan
Itmus, anak dari buah cintanya dengan idealisme yang dianutnya.
Tiga
tahun berlalu semenjak pertapaan-pertapaan yang dilakukan lelaki itu di ruang
sempit tempat berkumpul para petinggi organisasi kesiswaan, saat-saat itu
terulang kembali. Adalah masa kala ia lagi-lagi mengakrabi diri dengan
kesunyian, meniti jalannya sendiri. Kapal yang telah dibuatnya untuk mengarungi
samudera kejayaan diambil orang, ia memang diajak ikut serta, tapi bukan ia
nahkodanya. Bukan, ia tak mengharap jadi nahkoda. Ia hanya tak sanggup berlayar
bersama orang-orang yang membelokkan arah tujuan kapal itu. Sekali lagi ia
merelakan jalan juangnya ditawan para perompak. Ia bersedia dilamun ombak bila diminta.
Ia sudi melompat dari kapal itu, lalu berenang sendiri mencari pantai terdekat,
membiarkan dirinya dihuyung lautan yang ganas. Lantas di pulau yang baru, ia
bersua kawan lamanya, keterasingan. Maka hiduplah lelaki itu dan
keterasingannya mengukur jembatan panjang perjuangan yang sempat terhenti.
Masalahnya
tak selesai dengan menepinya ia ke tanah yang sunyi. Kapal yang ia buat, dibawa
lari oleh orang-orang yang dahulu mencercanya, yang bahkan tak tahu untuk apa
kapal itu dibuat. Ia punya hak mengambil kembali kapal itu. Masalahnya kapal
itu bukan lagi miliknya seorang. Ada saham orang lain di kapal itu. Kapal itu
jadi milik kita, tapi mengapa pula arahnya berlawanan fungsi awal pembuatannya?
Kapal itu mesti kembali pada jalan yang seharusnya. Kapal itu milik kita,
memang. Tapi jangan lupa belajar kepada pembuatnya. Kapal itu bernama Itmus.
Itmus kita. Mau ke mana Itmus kita?
Sesejuk
embun dalam damai cinta, pada haru rindu
Mahathir
Matondang bin A. Matondang
Barakallahu fiikum wa barakallah 'Alaynaaa.
ReplyDelete