Kisah Kecil dari Palestina
Di setiap
hembusan nafasku
Kutemukan
nama-Mu
Di setiap
goresan tintaku
Asma-Mu
kusebut selalu
Seratus
Peluru untuk Amru
Habiburrahman
El Shirazy
Namanya Amru. Anak lelaki berumur 12 tahun itu terlahir dari rahim seorang
wanita Palestina perkasa dari Nablus. Diberi nama Amru karena ibunya berharap
agar ia bisa seperti sahabat Nabi yang agung yaitu Amru bin Ash. Seorang
sahabat Nabi yang cerdas, pemberani dan perkasa. Panglima perang pasukan Islam
saat membuka tanah Mesir lima belas abad yang lalu, dengan gagah berani
menggilas kezaliman tentara Romawi hingga bertekuk lutut di hadapan keadilan
Islam
|
Anak lelaki itu
telah yatim piatu sejak berumur lima tahun. Ayahnya mati syahid, ditembak
serdadu Israel usai shalat Jumat di Masjidil Aqsha, saat ia masih berada di
dalam kandungan ibunya. Sedangkan ibunya menyusul syahid saat ia masih berumur
lima tahun.
Kini Amru tinggal
bersama kakeknya yang sudah berumur tujuh puluh tahun. Mereka berdua tinggal di
sebuah gubug darurat di pinggir kota Khan Yunis. Rumah mereka di Nablus telah
hancur berkeping-keping dibombardir Israel. Bahkan diatas puing-puing rumahnya
itu kini telah berdiri villa mewah milik bisnisman Yahudi yang baru datang dari
Ceko bersama dua puluh lima ribu orang Yahudi lainnya dari Eropa Timur.
Sementara
orang-orang Palestina terusir dari rumah dan kampung halaman mereka, satu per
satu menemui ajal diburu peluru –peluru buta Israel, ribuan penduduk baru
Yahudi didatangkan dengan diberi seribu perlindungan, dengan seribu fasilitas
mewah yang dibangun diatas mayat-mayat dan genangan darah anak Palestina.
Tiap pagi Yahudi
Israel makan roti bakar yang diolesi keju bergizi tinggi yang disarikan dari
darah dan nanah rakyat Palestina. Mereka makan gandum yang ditanam diatas bumi
Palestina dan disirami dengan keringat, peluh dan darah rakyat Palestina.
Pagi itu sehabis
shalat Subuh dan mengaji Al-Qur’an bersama kakeknya, Amru bergegas keluar dari
gubug reot itu. Ia langsung menyambar ember. Ya, seperti biasanya ia harus
mengambil air untuk keperluan hidup dari pipa-pipa pengairan di ladang-ladang
anggur Israel. Ia harus berjalan satu kilo lebih untuk mengambil air. Itu pun
ia mesti bergerilya penuh waspada, jangan sampai kepergok tentara Israel durjana.
Sejak kekalahan
Arab pada perang tahun 1967 nyaris segala sesuatu yang ada di atas bumi
Palestina masuk dalam genggaman Israel, tak terkecuali air. Begitu mahal harga
setetes air bagi Israel sehingga seluruh jalur pengairan mereka jaga sedemikian
ketatnya. Namun, begitu murah darah rakyat Palestina bagi Israel sehingga
dengan seenaknya mereka mengalirkannya setiap hari tanpa henti.
* * *
Jangan lupa klik tombol subscribe di sebelah kiri :)“Kek, Amru pamit dulu ngambil air ya,” Amru mencium tangan kakeknya yang berdiri di pintu gubug.
“Fi ri’yatillah,
cucuku. Pasanglah seluruh inderamu. Janganlah lengah. Jika kepergok Israel
cepat-cepat selamatkan diri. Jangan kautumpahkan darahmu sia-sia pagi ini. Sebab, di bumi Palestina ini kau bisa
memilih cara paling mulia untuk menumpahkan darah syahidmu, cucuku.
Rasakan dengan sepenuh hati bahwa Allah bersama langkahmu,” dengan suara penuh
wibawa sang kakek menasihati cucunya sambil mengusap-usap kepalanya dengan
penuh kasih saying dan cinta.
Sejurus kemudian Amru
melesat seperti anak panah sambil menenteng ember. Sang kakek memandangi
cucunya yang yatim piatu itu dengan meneteskan air mata.
“Ya Allah … limpahkanlah
satu telaga kesabaran yang tiada habis sumbernya pada anak-anak Palestina.
Untuk sekedar mengambil air minum saja ya Allah, yang keluar dari bumimu mereka
harus mempertaruhkan nyawa. Ya Allah… lindungilah Amru, cucuku yang yatim
piatu. Kalau Kau pilih dia untuk syahid di jalan-Mu, pilihkanlah jalan yang
paling mulia dan paling Kau ridhai. Amin.” sang kakek berdoa penuh khusyuk saat
Amru ditelan kabut pagi.
Amru berlari-lari kecil.
Hatinya riang. Ya, hatinya selalu riang sehabis tadarusan Al-Quran di Subuh
hari bersama kakeknya. Hanya Al-Quranlah lagu dan musik jiwanya. Kepapaan dan
kesengsaraannya semakin menjadikan ia tidak bisa berpisah dengan Al-Quran,
pelipur laranya satu-satunya. Al-Quran memberikannya harapan-harapan masa depan
yang cemerlang, menciptakan nuansa-nuansa keindahan dalam hatinya.
Ia terus berlari-lari kecil, hatinya
riang, ia masih terpaut dengan surat Al Insan ayat 11 dan 12 yang tadi ia baca
dengan meneteskan air mata.
“Maka Tuhan memelihara
mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah)
dan kegembiraan hati. Dan Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran
mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera”
Tiba-tiba
ia merasa rindu ingin bertemu dengan Tuhannya. Ia merasa rindu ingin bertemu
ayah dan ibundanya di surga. Kerinduan yang tiada tara menjadikan hatinya
begitu haru, matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
Amru pun menghentikan langkahnya. Ia lalu
duduk bersila menghadap kiblat dibawah pohon korma. Ia pejamkan kedua matanya
dan ia tengadahkan kedua tangannya ke langit, lalu dengan khusyuk bibirnya
bergetar, “Ya Allah Tuhan yang memberkati bumi Palestina dan sekitarnya, dengan
asma-Mu yang paling agung aku berdoa. Ya Allah, aku rindu ingin bertemu
dengan-Mu, aku rindu pada ayah ibundaku yang syahid di jalan-Mu. Ya Allah, aku
memohon dengan segala keridhaan yang Engkau letakkan pada kitab Al-Quran untuk
hamba-hamba-Mu yang membacanya, angkatlah diriku menemui ayah ibuku dengan
belas kasih-Mu sebelum matahari berada di ubun-ubun kepalaku. Amin.”
Pohon korma, kabut pagi, mentari yang
mengintip di ufuk timur, pohon-pohon Zaitun, batu-batu, debu, puing-puing
pecahan mesiu, langit dan bumi serta para malaikat mulia ikut mengamini doa
suci Amru pagi itu.
Amru bangkit sambil menghapus tetesan
hangat airmatanya. Ia lanjutkan perjalanan. Kali ini ia tidak lagi lewat jalan biasa, ia merunduk, menyusuri sebuah
parit menuju ladang anggur Israel.
Dug! Tentara Israel! Ya ia menangkap
bayangan dua tentara Israel berjalan mengitari perkebunan anggur itu. Terpaksa
ia memutar haluan. Semestinya lima puluh meter lagi adalah pipa yang biasa ia
sadap airnya. Amru merangkak, lima meter di hadapannya adalah terowongan kecil
sepanjang seratus meter yang berakhir di tengah ladang gandum. Terowongan itu
asalnya adalah saluran irigasi yang kini tidak dipakai lagi.
Kedua tentara Israel itu berjalan santai
sambil terkekeh-kekeh. Senjata mereka lengkap. Keduanya memegang roti berkeju.
Agaknya mereka sedang sarapan pagi. Sarapan pagi dengan makanan yang disarikan
dari darah dan nanah rakyat Palestina. Langkah keduanya semakin jelas, semakin
mendekati parit persembunyian Amru. Amru terus merangkak pelan menuju
terowongan.
“Ah aman, Alhamdulillah,” gumam
Amru lega begitu ia masuk terowongan. Sementara kedua tentara Israel itu
melenggang dengan langkah congkaknya, melintas tepat di atas kepala Amru. Amru
terpaku di dalam terowongan, keningnya berkerut, pikirannya berputar merancang
strategi mengecoh dua tentara Israel agar berpindah dari jalan pintas yang
biasa ia lalui itu.
Yah, ketemu ! seru Amru didalam hati.
Aku telusuri terowongan ini sampai ke
tengah ladang lalu aku bakar saja ladang ini. Lalu aku masuk lagi ke terowongan
dan menuju kemari. Dua tentara itu dan tentara lainnya pasti akan segera lari
ke tengah ladang begitu melihat asap berkepul. Saat mereka ke tengah ladang aku
akan cepat lari ke kran air dan mengambil air dari sana. Bismillah!
Dengan cepat, tanpa membuang waktu,
mujahid kecil itu merangsek ke dalam terowongan pengap itu. Embernya ia tinggal
di bibir terowongan. Ia terus merangsek maju. Semakin lama semakin gelap. Dan
akhirnya ia berada di tempat gelap gulita, hitam pekat. Nafasnya mulai
tersengal-sengal, ia terbatuk-batuk. Udara di dalam terowongan itu begitu
pengapnya. Tiba-tiba ia mendengar suara berdesis.
Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un. Jangan-jangan
itu suara ular. “Ya Allah, haruskah aku syahid dipatuk ular? Ya Allah, dengan
seluruh asma-Mu yang digunakan oleh Rasulullah berdoa kepada-Mu aku
mohon syahidkanlah aku dengan seratus peluru.” Doa Amru di dalam
hati dengan penuh khusyuk. Lalu ia membaca doa yang diajarkan kakeknya tiga
kali,
“Bismillahi Ladzi Laa Yadhurru Ma’asmihi
Syaiun Fil Ardhi Wa Laa Fis Sam’ii Wahuwas Samiul ‘Alim.”
Tiba-tiba
suara desis ular itu hilang. Lalu dengan mantap ia kembali maju, merangkak
menelusuri terowongan sempit itu dan ia tidak menemui halangan apa-apa.
Samar-samar ia kembali melihat seberkas cahaya. Ya, itu ujung terowongan yang
ada di tengah ladang, gumamnya bersemangat. Semakin cepat ia merangkak maju.
Dan akhirnya kepala mujahid kecil itu perlahan-lahan nongol dari sebuah lubang
di tengah kebun anggur di pinggir kota Khan Yunis itu.
“Alhamdulillah, lakal hamdu ya Rabbi!” Amru
memuji Tuhannya.
Segera ia keluar penuh waspada. Ia
mengendap-endap mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru kebun. Tak ada
tentara di tengah kebun. Para pekerja belum berdatangan, hari masih terlalu
pagi. Aman!
Dengan cepat Amru mengumpulkan
ranting-ranting kering , daun-daun anggur kering, ia letakkan tepat di bawah
pohon anggur yang siap dipanen. Lalu ia mengeluarkan korek api yang terbawa di
saku celananya.
“Bismillah, wahai api, jika pada
tubuh nabi Ibrahim kau sejuk tidak membakar. Maka pada ladang Israel durjana
ini tebarlah panasmu, bakarlah semua isinya tanpa sisa, murkalah sebagaimana
Allah murka karena darah anak-anak Palestina dialirkan Israel tanpa iba,” doa
Amru saat menyulutkan api pada daun-daun kering.
Begitu ia melihat api itu mulai menjadi
besar, cepat-cepat ia masuk kembali ke dalam terowongan. Amru merangsek dengan
cepat. Ia harus segera sampai di ujung luar lalu berlari secepatnya menuju kran
dan mengambil air.
Sementara itu api terus berkobar
perlahan-lahan membakar pohon-pohon anggur itu. Kandungan alkohol yang ada
dalam pohon dan buah anggur itu semakin membuat kobaran api itu merajalela. Dan
wuzz! Api itu menjalar kemana-mana Ia begitu murka. Tentara-tentara
Israel kalang kabut. Sibuk memadamkan api.
“Cepat padamkan api itu, jika tidak kebun
anggur seluas dua ratus hektar ini akan menjadi abu.” teriak sang komandan
mengkomando anak buahnya.
“Kalian semua tolol. Ini pasti ulah orang
HAMAS. Kalian semua dungu!!!” Sang komandan terus menceracau dan marah-marah.
Wajahnya tegang dan panik.
Tetapi naas, gerakan tentara Israel agaknya
kalah sigap dengan gerakan api. Api terus menjalar dengan cepat ladang anggur
itu. Membakar sejadi-jadinya. Sesekali terdengar ledakan-ledakan kecil dari
pohon-pohon anggur yang pecah menyemburkan api.
Begitu sampai di ujung terowongan, Amru
keluar dengan ekstra hati-hati. Ia arahkan pandangannya ke tengah kebun. Asap
membumbung tinggi.
“Berhasil, Allahu Akbar! teriak
Amru tertahankan di dada. segera ia lari sekencang-kencangnya menyusuri parit
menuju kran air. Lima belas menit kemudian ia sudah ada di kran jauh di pinggir
utara kebun anggur itu. Langsung ia kucurkan air, ia basahi muka dan rambutnya.
Lalu ia minum sepuas-puasnya. Setelah itu ia penuhi embernya dengan air.
Tiba-tiba begitu ia hendak mengangkat embernya, sekonyong-konyong dari arah kebun
ia melihat tiga tentara Israel berlari kearahnya. Dengan cepat kilat Amru
mengambil langkah seribu, ia bagai terbang, ember kekayaannya satu-satunya ia
tinggal begitu saja. Ia teringat pesan kakeknya, “Kau bisa memilih cara paling mulia
untuk menumpahkan darah syahidmu, cucuku!”
“Hei tikus kecil berhenti! Kalau tidak
kuberondong kau!!” teriak tentara Israel. Amru terus berlari dengan cepat.
Dan….
Dor…dor…dor…dor….! puluhan peluru
berdesingan di kanan kiri Amru.
“Ayo cepat kita buru setan kecil ini!
Jangan-jangan dia yang membakar kebun! Ayo cepat!!” Tiga tentara itu lalu memburu Amru.
Dor…dor…dor….!!! Det…det…det…det….!!!
Senjata otomatis dari salah satu tentara Israel itu menyalak, memuntahkan
ratusan peluru, tepat saat kaki Amru tersandung batu. Amru terjerembab jatuh.
Batu itu telah menyelamatkan nyawa Amru dari tajamnya ratusan peluru Israel.
Amru kembali berlari sekencang-kencangnya. Ia masuk ke kebun korma yang
ditumbuhi belukar tak terurus.
“Kurang ajar, setan itu masuk belukar. Ayo
kita buru sampai mampus!” kata Yahudi berkumis tebal.
“Sudahlah biarkan aja. Aku malas masuk
belukar kucing-kucingan sama setan kecil itu. Jangan-jangan itu jebakan orang
HAMAS. Kita bertiga malah mati konyol nanti. Ah, aku tak mau mampus gara-gara
setan kecil itu. Kita kembali saja ke ladang.” ucap tentara kedua.
“Benar kata Ben Solomon ini, jangan-jangan
ini jebakan. Kita kembali saja. Kalau mau bombardir saja kebun itu dengan
artileri jarak jauh. Kita kan tetap aman,” sahut yang ketiga.
Akhirnya ketiga tentara Israel pengecut
itu tidak berani memburu Amru. Mereka kembali ke ladang yang terbakar itu.
* * *
Setengah jam kemudian, Amru telah sampai
di depan gubug reotnya. Kakeknya masih di dalam tadarusan Al-Quran. Wajah Amru
begitu pucat. Tenaganya benar-benar habis pagi ini. Sudah dua hari perutnya tak
terisi sepotong pengganjal pun. Air yang baru saja ia minum telah keluar dan
tumpah lewat keringatnya yang deras. Nafasnya masih terengah-engah. Ia lalu
duduk menggeloyot di samping pintu.
Mendengar nafas Amru, sang kakek keluar
dan mengelus-elus kepala cucunya. Ia langsung paham bahwa cucunya pasti baru
dikejar-kejar tentara Israel. “Cucuku, wajahmu pucat sekali. Istirahatlah dulu
ya cucuku. Biar kakek coba keluar cari makanan seadanya.” kata kakeknya sambil
mencium kening cucu kesayangannya itu.
“Jangan kek, biar Amru yang keluar. Kakek
sudah terlalu tua. Kakek istirahat, membaca Al-Quran dan berdoa untuk Amru saja
di rumah. Apalagi kaki kakek kan sudah lumpuh satu. Bagaimana kakek bisa berjalan
jauh. Biar Amru saja kek, sekalian Amru ingin ke madrasah sudah dua hari Amru
tidak hadir. Amru kangen sama teman-teman dan para asatidz!” jawab Amru.
Mendengar jawaban cucunya itu, sang kakek
hanya meneteskan air mata. Ya, ia telah udzur, kakinya telah lumpuh satu.
Seandainya kakinya tidak lumpuh tentu ia masih akan bergerilya melawan
kezaliman penjajah Israel.
Kembali Amru pamit pada kakeknya. Sebelum
melangkah meninggalkan gubug ia mengambil senjata andalannya : ketapel! Ia
yakin bahwa nanti ia akan menggunakan ketapel itu jika diajak teman-temannya
menyerang tentara Israel pengecut. Ia paling suka melihat wajah-wajah pucat,
cemas dan takutnya tentara Israel. Apalagi jika batu yang terlempar dari
ketapelnya itu menyentuh hidung tentara Israel itu hingga berdarah. Ia akan
tertawa bahagia sekali. Lalu akan ia ciumi ketapel saktinya itu dengan penuh
bangga.
Diantara teman-teman seperjuangannya, ia
memang paling jitu memakai ketapel. Sehingga meski namanya “Amru” ia dijuluki
teman-temannya “Saad bin Abu Waqqash Kecil”, karena tembakannya selalu mengenai
sasaran.
Amru pergi ke madrasah, rindu ingin
bertemu teman-temannya, mujahid-mujahid kecil pemberani. Sebetulnya rasa
penatnya habis dikejar tentara Israel belum hilang, bahkan sakit di kakinya
saat tersandung batu tadi belum sirna. Tapi ia harus bergerak, tentara Allah
tidak boleh terkalahkan oleh penderitaan jasad. Tak ada istilah istirahat!
Terus bergerak, bergerilya, menyusun strategi, menukik bersama maneuver-manuver
dahsyat!
* * *
Begitu menginjakkan kaki di halaman
madrasahnya, Amru langsung diserbu teman-teman seperjuangannya.
“Ahlan
wa Sahlan, selamat dating ya Amru, kami semua rindu padamu,” sambut Ahmad,
ketua kelas mereka.
“Masya Allah hangatnya
berjumpa kalian, aku juga rindu pada kalian. Wahai tentara-tentara Allah
berhati singa. Ngomong-ngomong kalian kok di luar kelas, ini kan sudah jam
Sembilan. Siapa yang mengajar hari ini ?” Tanya Amru.
“Sekarang kan jamnya Ustadzah
Faizah Abdurrahim, beliau sebentar lagi datang Insya Allah. Sebetulnya
tadi kami semua ada di kelas, tapi begitu kau memasuki halaman kami tidak sabar
untuk memelukmu.” Jawab Ragab, sang insinyur pembuat bom Molotov dalam pasukan
mujahid kecil itu.
“Yuk kita masuk kelas lagi. Kita
ngobrol dan mengatur strategi-strategi kucing-kucingan dengan tentara Israel
lagi. Setuju?!” Ajak Amru.
“Setujuuuu!”
teriak anak-anak Palestina itu kompak. Begitu sampai di kelas, Amru yang mereka
anggap sebagai panglima perang membuka pembicaraan,
“Bismillah, sebelum kita merancang
strategi baru. Aku ingin mendengar hasil-hasil manuver kalian tiga hari ini.
Apa yang telah kalian lakukan untuk membela agama Allah ini, membela tanah suci
ini. Silahkan mulai dari Ahmad!” Suara Amru terdengar tegas.
“Hari Rabu lalu saya ikut menyerang
penjagaan blockade Israel di sisi barat Khan Yunis. Tiga lemparan batu saya
mengenai leher Israel!” jawab Ahmad bersemangat.
“Aku telah merakit lima Molotov, ada di
tasku sekarang ini.” sambung si Ragab.
“Coba bisa saya lihat ?” Tanya Amru.
“Ini!” jawab Ragab sambil menyerahkan
tasnya pada Amru.
“Bagus, namun kita harus terus
meningkatkan kemampuan kita. Kemampuan pikiran dan senjata! Kalau kamu Umar,
apa yang kamu lakukan?” sambung Amru.
“Lihat tangan kananku, aku tertembak tiga
hari yang lalu.” Jawab Umar dengan nada
sedih.
“Tak apa-apa, darah yang kau teteskan dari
tanganmu adalah pengobar semangat kita bersama.” jawab Amru dengan bijak
menumbuhkan semangat juang teman-temannya.
“Lha kau sendiri Amru, apa yang telah kamu
lakukan?” Tanya Ahmad, sang ketua kelas.
“Banyak,
tapi yang paling prestius adalah pagi ini, sebelum berangkat ke sini aku telah
membakar ladang anggur Israel di sebelah Timur Khan Yunis. Saat ini
tentara-tentara Israel keparat itu mungkin masih sibuk memadamkan api yang mengancam
dua ratus hektar kebun anggur itu.” Jawab Amru dengan penuh percaya diri.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu
Akbar!” teman-temannya menyambut dengan takbir.
“Assalamu’alaikum!” tiba-tiba terdengar suara lembut
seorang wanita.
Rupanya Ustadzah Faizah Abdurrahim yang
datang. “Wa’alaikumsalam warahmatullah!” jawab anak-anak Palestina itu
serempak.
“Ada berita apa anak-anakku tercinta? kok
takbir kalian begitu keras membahana, seakan menggetarkan dunia?!” Tanya
Ustadzah Faizah.
“Ini Ustadzah, Amru berhasil membakar
kebun anggur Israel, tadi pagi, semoga saja kebun penjajah Israel seluas dua
rarus hektar itu musnah dimakan api!” jawab Ahmad.
“Subhanallah! kalau begitu kita
harus cepat-cepat bubar. Pantesan tadi di jalan Israel begitu ketat melakukan sweeping.
Sebentar lagi mereka pasti kesini. Ayo anak-anak kita bubar. Menyebar. Israel
pasti marah dan mengamuk membabi buta!”
Begitu Ustadzah Faizah hendak berdiri,
tiba-tiba….
“Brakkk!!! Dor…dor…dor…!!!”
Puluhan tentara Israel memasuki kelas.
“Ambil dan seret anjing betina itu! Dia
anggota HAMAS!” sang komandan memerintahkan anak buahnya untuk menangkap
Ustadzah Faizah.
Suasana di kelas benar-benar
tegang.Ustadzah Faizah tak bergeming dari tempat duduknya. Sementara dada Amru
menyimpan bara kemarahan. Ia teringat ibunya, tujuh tahun yang lalu ibunya
meninggal saat mengajar.
Tujuh tahun yang lalu. Saat itulah ibunya
sedang mengajar di Madrasah Ibtidaiyyah Safinatun Najah di kota Khan Yunis.
Ketika itu pukul Sembilan pagi, ibunya sedang mengajarkan mata pelajaran Tauhid
pada murid-muridnya. Tiba-tiba terdengar suara pesawat tempur Israel
menderu-deru dilangit Khan Yunis. Dan terdengarlah ledakan mesiu menggelegar di
sana-sini.Ibunya keluar dari kelas diikuti murid-muridnya. Begitu melangkahkan
kaki di pintu, gedung dan halaman madrasah itu dilumat oleh dentuman
mahadahsyat.
Lima belas guru dan seratus dua puluh
muridnya mati syahid pada pagi hari yang kelabu itu. Tak ada liputan terperinci
dari pers dunia. Hanya sejarah yang menulisnya sambil meneteskan airmata darah.
Khan Yunis kota kecil di Palestina itu menggelepar, menahan perih tak terkira.
“Pasukan ayo cepat seret wanita itu,
jangan bengong saja!” gelegar suara komandan Israel itu menyadarkan Amru. Darah
anak Palestina itu mendidih. Perlahan-lahan ia siapkan ketapelnya. Dua batu
telah ia pasang.
Dua tentara Israel merangsek. Begitu
tangan mereka hendak menyentuh wanita Palestina berjilbab cokelat itu.
Tiba-tiba….
Plak! Plak!
Dua
batu menghantam keras mengenai sasarannya. Tembakan Amru tak pernah meleset.
Dan….
Bummm!
Dua bom Molotov meledak. Empat tentara Israel terkapar. Sang komandan menahan
geram tubuhnya perih terkena pecahan kaca.
“Brengsek. Kalian tikus kecil brengsek!
Rasakan ini!!”
Ded..ded..ded..ded..ded…!!! Ratusan peluru
muntah dari senjata otomatis komandan Israel. Peluru-peluru itu muntah membabi
buta ke seluruh ruangan kelas. Menerpa wajah-wajah polos! Ahmad, Ragab, Umar,
Isa, Mahmud tewas seketika, syahid menyusul teman-temannya. Ustadzah Faizah tak
luput dari terjangan peluru buta itu. Tubuhnya terjerembab ke lantai, jilbab
cokelatnya berlumuran darah. Kelas itu pun banjir darah. Kembali kota Khan
Yunis menggelojot mengerang perih.
Ternyata Amru masih hidup, tepat saat sang
komandan menarik picu senjatanya, ia berhasil melompat dan langsung tiarap!!!
“Kurang ajar Yahudi Israel laknatullah
ini. Nah rasakan!”
Dan…
Dan…
Plak! plak! dua tembakan batu Amru merobek
wajah komandan Israel.
“Aaa…aduuuuuuuh…b..b..bu..bunuh
bangsat satu ini. Cepaaaaaat!!! teriak komandan.
Tak ayal lagi tentara-tentara Israel
itupun memuntahkan ratusan peluru ke tubuh Amru. Dan….
“Laa ilaaha illallaaah!” Amru
menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan sempurnanya kalimat tauhid
yang terucap dari mulut mungilnya. Panglima para pejuang kecil berani mati itu
pun gugur, syahid menemui Tuhannya, menemui ayah dan ibundanya yang
dirindukannya.
Dikutip
dari : Buku Catatan Motivasi Seorang Santri~Habiburrahman El Shirazy,dkk
Post a Comment