1. Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?
2. dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu?
3. yang memberatkan punggungmu
4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu
5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
7. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap
Terjemahan Al-Qur’an Surah al-Insyirah
Alkisah di sebuah rumah yang dihuni sepasang suami istri. Sang istri tampak gusar, mondar mandir tak karuan. Perabotan di rumah satu persatu dijual, tiada sisa. Bahkan piring-piring yang semestinya jadi kebutuhan primer sebuah rumah tangga-mustahil makan tanpa piring sebagai wadahnya-tak luput dari korban perniagaan. Sang suami tak ikut-ikutan gusar sebagaimana istrinya. Ia masih tenang-tenang saja, kakinya masih sanggup mengongkang, bibirnya masih mampu berdendang. Ia tampak tak begitu memusingkan kepala kala menyaksikan satu persatu perabotan di rumahnya dijual.
Sebut saja, sang suami bernama Kaslan. Rasanya tak begitu perlu si istri ikut kita beri nama, sebab substansinya ada pada si Kaslan ini.
Seperti nama dan deskripsi yang saya ceritakan di awal, tentu anda dengan mudah saja menebak perangainya. Ia malas, tidak suka bermandi peluh di bawah sengatan matahari, tidak tertarik membanting tulang menghidupi anak dan istri. Setiap hari hanya satu kegiatannya, berkhayal akan melimpah ruahnya harta, dan ia tak perlu susah payah menghadirkan diri pada kesibukan mencari sesuap nasi. Dan begitu bangganya ia pada profesinya, penganggur yang setia, pendoa yang taat.
Singkat cerita, Kaslan dimarahi habis-habisan oleh istrinya. Sebab tak ada lagi sebarang benda pun dirumahnya, bahkan dapur sudah berhari-hari tak mengepul asapnya. Istrinya membentaknya keluar dari rumah, segera mencari kerja. Memang dasar tabiatnya yang berilham dari nama, bukan kerja yang dicarinya, justru tuan syekh yang diingatnya. Ia pun memutuskan berangkat menemui tuan syekh yang sudah masyhur mampu menyelesaikan persoalan dengan bijak. Untuk sampai di pondokan tuan syekh yang bijak itu, Kaslan harus melewati hutan. Di pintu hutan, berpapasan ia dengan seekor singa yang kurus, lemah, tak berdaya. Sudah beberapa hari singa itu tak mendapat mangsa seekor pun, dan terpaksalah ia menahan lapar. “Hai Kaslan, mau kemana engkau?” sapa singa itu dengan amat lemah. “Aku mau menemui tuan syekh yang tinggal di ujung hutan ini,” jawab Kaslan pula. “Apa perlumu menemui tuan syekh itu?” tanya singa itu, tak mengerti. “Aku ingin menanyakan cara meraih kekayaan dengan cepat,” jawab Kaslan dengan pongahnya. “Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong kepadamu? Aku sudah beberapa hari tidak makan, dan sekarang tubuhku amat lemas. Tolong tanyakan kepada tuan syekh itu apa obatnya agar aku bisa bugar kembali.” Singa itu mengajukan permohonan. “Baiklah, pertanyaanmu akan aku sampaikan. Aku harus cepat-cepat menemui tuan syekh itu, karena aku tak sabar ingin menjadi kaya.” Kaslan buru-buru masuk kedalam hutan meninggalkan singa yang tak lagi mampu berdiri itu.
Di perjalanan, masih di dalam hutan, Kaslan bertemu dengan sebatang pohon apel yang lebat bunganya, tak lama lagi akan berbuah. Namun pohon apel itu juga memiliki masalah yang pelik. Setiap musim berbunga, selalulah bunganya bersemi. Namun ketika musim berbuah tiba, ia tak dapat mengeluarkan buah. Bunganya selalu gugur sebelum berbuah. “Tolong tanyakan perihal masalahku ini kepada tuan syekh itu, wahai Kaslan!” pinta pohon apel itu kepada Kaslan. “Baik, akan aku sampaikan.” Kaslan mengabulkan pintanya. Lalu Kaslan mohon diri dan melanjutkan perjalanannya menemui tuan syekh itu.
Tak berapa lama setelah perjumpaannya dengan sebatang pohon apel yang malang, Kaslan bersua seekor ikan dalam telaga yang nelangsa. Ikan itu merasa amat sakit di tenggorokannya. Ia tak dapat menelan makanannya dengan sempurna. Dan sama seperti kedua makhluk yang sebelumnya, sang ikan pun menitipkan pesan pada Kaslan agar diberitakan obatnya segera. Sang ikan ingin segera sembuh dari penyakitnya.
Akhirnya, tibalah Kaslan di kediaman sang tuan syekh. Tuan syekh saat itu sedang duduk bertafakur. “Ada perlu apa kau kemari, Kaslan?” tanya tuan syekh itu tiba-tiba pada Kaslan. Kaslan terperanjat, tak disangka namanya telah dikenal oleh tuan syekh itu. “Dari mana tuan mengetahui nama saya?” tanyanya meminta penjelasan. “Tak perlu kau tahu dari mana aku mengenali namamu. Beritakan apa perlumu datang kemari!” perintah tuan syekh itu pada Kaslan. “Tuan, kedatangan hamba kemari ialah untuk menanyakan bagaimana caranya agar saya bisa menjadi kaya. Kiranya dapatlah Tuan memberitahukan kepada saya tentang caranya.” “Hajatmu akan segera terkabul. Lantas apalagi hal yang membuatmu datang kemari?” “Oh, saya hampir lupa. Di perjalanan saya bersua seekor singa yang kurus lagi lemah. Ia meminta untuk menanyakan kepada Tuan bagaimana agar ia bisa bugar kembali. Begitupun sebatang pohon apel, ia senantiasa berbunga tetapi tiada berbuah. Ia menanyakan bagaimana agar bunganya menjadi buah. Pun seekor ikan dalam telaga, tenggorokannya terasa sakit selalu. Dapatkah Tuan menjelaskan perihal penyakit ketiga mereka itu?” Kaslan menjelaskan persoalan ketiga makhluk yang ia jumpai sebelum sampai di rumah tuan syekh.
“Baiklah, adapun si ikan itu, di tenggorokannya tersangkut sebutir intan. Sebutir intan inilah yang membuat sakit tenggorokannya. Apabila sebutir intan itu dikeluarkan, maka dapatlah ia merasa lega. Adapun si pohon apel, di bawah akarnya tersimpan seonggok emas dan perak. Ia tak dapat mencapai makanannya disebabkan emas dan perak itu. Apabila dikeluarkan, maka ia dapat kembali tumbuh dengan subur. Dan si singa yang lunglai itu, maka obatnya ia harus memakan seorang lelaki yang malas dan tak berguna bagi keluarganya.” Demikianlah syekh itu memberi penjelasan terkait ketiga penyakit aneh itu.
Sebakda mendengar penerangan itu, Kaslan pun pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu kembali dengan seekor ikan. “Bagaimana, Kaslan?” tanya ikan itu. “Tuan syekh menjelaskan bahwa di tenggorokanmu itu ada sebutir intan. Apabila itu dikeluarkan, maka sakitmu akan sembuh,” jawab Kaslan. “Kalau begitu, tolonglah keluarkan intan itu. Apabila ia telah keluar, maka kau boleh memilikinya,” ikan itu mengiba. “Ah, aku tak mau bersusah payah. Tuan syekh sudah bilang kalau aku akan segera menjadi kaya,” jawab Kaslan, lalu pergi melanjutkan perjalanan. Selang beberapa lama, ia bersua pohon apel. “Bagaimana, Kaslan?” tanya pohon itu. “Tuan syekh mengatakan bahwa dibawah akarmu ada seonggok emas dan perak. Apabila itu dikeluarkan, maka kau akan berbuah kembali.” “Kalau begitu, tolonglah keluarkan emas dan perak itu. Apabila telah keluar, maka kau boleh memilikinya,” pohon apel itu menghiba. Seperti sebelumnya, Kaslan menolak dengan alasan ia akan segera kaya. Ia melanjutkan perjalanan. Setiba di pintu hutan, singa itu bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti ikan dan pohon apel. Maka Kaslan menjelaskan perihal obatnya, “Kau harus memakan lelaki yang malas dan tak berguna bagi keluarganya.” “Aha, kalau begitu aku tak perlu susah payah lagi. Orang itu telah hadir di depanku. Bersiaplah, Kaslan!” Singa itu dengan garangnya mencoba melahap tubuh Kaslan. Akan tetapi Kaslan dengan cepatnya menghindar dari singa itu. Ia berlari terengah-engah masuk ke dalam hutan. “Ah, memang benar. Aku adalah lelaki yang malas dan tak berguna bagi keluargaku. Mulai saat ini aku bertekad untuk mengubah nasibku. Aku harus bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan keluargaku,” demikian suara hati Kaslan. Ia kembali menemui pohon apel dan ikan, lalu menolong mereka. Akan tetapi, intan, emas, dan perak itu tak ia ambil bagi dirinya. “Ini akan kubagi-bagi pada seluruh fakir miskin yang kutemui sepanjang jalan.” Begitulah Kaslan. Ia mencari jalan lain pulang ke rumahnya.
Setiba di rumahnya, Kaslan bertekad menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan hanya itu, ia juga akan membuka ladang di belakang rumahnya dan menanam beberapa tanaman. Usahanya berkembang pesat, sehingga dalam waktu singkat ia dapat membeli beberapa kios di pasar. “Kalau melihat keadaan hari ini, rasanya tak pantas lagi engkau memakai nama Kaslan itu. Lebih baik namamu diganti saja menjadi Juhdan.” Begitulah istrinya menyarankan. Juhdan, yang berarti bekerja keras itu akhirnya disematkan menggantikan nama Kaslan yang pemalas. Juhdan dan istrinya dapat hidup bahagia kembali.
Kalau kita pernah membaca ‘Robohnya Surau Kami’ karangan AA. Navis, tentu kita pernah mengenal nama Ajo Sidi. Ajo Sidi yang digambarkan sebagai pembual itu sukses menghantarkan seorang penjaga surau yang biasa dipanggil Kakek itu menggorok lehernya sendiri. Oleh karena cerita bualannya itu, sang Kakek frustrasi lalu mengakhiri hidupnya.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’ ‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’ ‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’ ‘Ya, Tuhanku.’ ‘apa kerjamu di dunia?’ ‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’ ‘Lain?’ ‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’ ‘Lain.’ ‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’ ‘Lain?’ Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan. ‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’ ‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’ ‘Lain?’ ‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’ ‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’ ‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’ ‘Masuk kamu.’ Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’ ‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’ ‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh. ‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’ ‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’ ‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh. ‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. ‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh. ‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner. ‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’ ‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela. ‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’ Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’ Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan. ‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’ ‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’ ‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’ ‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’ ‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’ ‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’ ‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’ ‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’ ‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’ ‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’ ‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’ ‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’ ‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’ ‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’ ‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’ ‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’ ‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’ ‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’ ‘Ada, Tuhanku.’ ‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh. ‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah bualan Ajo Sidi. Bualan itulah yang menjatuhkan karakter Kakek hingga akhirnya Kakek menebas urat lehernya dengan pisau tajam yang sudah diasahnya, yang semestinya pisau itu ia hunjamkan kepada Ajo Sidi.
Adalah Kaslan, berkembang dan hidup sesuai namanya. Tiduran seharian dengan jiwa yang apatis pada nasib keluarga menjadi pola hidupnya sehari-hari. Istri yang terlalu bersabar hingga akhirnya menumpahkan habis semua kekecewaannya pada suami pemalas itulah yang membuat Kaslan dapat mengubah namanya menjadi Juhdan. Seluruh perjalanannya di hutan menemui tuan syekh yang terkenal ampuh membasmi kebatilan, dengan pengalaman bersua singa yang lapar, pohon apel yang tak hendak berbuah, dan ikan yang sakit tenggorokan itu pun menjadi penunjang semangatnya memulai hari yang baru dengan semangat yang tak kalah baru pula. Ia jadikan semua itu ibroh bagi jalan hidupnya, nutrisi bagi tekadnya menapaki hidup yang lebih baik. Hijrah yang ia lakukan itu berbuah manis pada ujungnya, istrinya tak lagi marah kepadanya bersebab habisnya perabotan rumah terjual semua.
Kaslan, mungkin perjalanannya tak seliku Ibn Hajar yang bebal lalu menemukan sebuah batu yang bolong di tengahnya. Tak mesti frustrasi menjalani hidup sepertinya. Ia berangkat dari keterpaksaan, dan dari keterpaksaan itulah tumbuh motivasinya. Revolusi mental! Bahwa jika ingin mendapat mutiara tidak mesti menceburkan diri ke laut, paling tidak ada tekad kuat dan peluh bercucur untuk mutiara itu. Kaslan, beroleh intan bukan menjatuhkan dirinya ke perut bumi, justru intan itu tersangkut pada tenggorokan seekor ikan di hutan. Kita tak mesti membanting raga untuk mencapai sesuatu, setidaknya ada nyali sebagai bekal melepas busur. Revolusi mental bukan semata-mata jargon yang terus dikampanyekan untuk menarik minat rakyat agar memilih kita sebagai pemimpin, ia adalah keniscayaan, ia adalah batu loncatan bila kita hendak melaju lebih jauh. Revolusi mental bukan semboyan nisbi agar seluruh rakyat patuh pada kebijakan negeri, ia adalah semangat membangkitkan raksasa tidur yang terbuai kemilau duniawi.
Tetapi, revolusi mental tanpa kerja keras pun hanyalah pepesan kosong. Ia bak khayalan nisbi tanpa amal yang berarti. Ia bagai bola lampu yang padam, sinarnya tak mampu menembus sekat-sekat bernama sunnatullah kemenangan. Seorang Haji Saleh yang amat tekun beribadah toh tak mampu menyelamatkan dirinya dari ancaman neraka yang selama ini ditakutinya, konon lagi seorang garin tua yang lama menghabiskan usia di surau, tak berbini tak berdzurriat. Ibadah yang tekun tanpa kesalehan hakiki sebagai hamba yang diamanahi bumi untuk menjaga dan memanfaatkan karunia Ilahi hanyalah isapan jempol. Toh, kalau kita mencermati ayat-ayat perintah ibadah tak lebih dari sepuluh persen Kalam Ilahi. Maka, setidaknya dalam hal ini benarlah Ajo Sidi, si pembual itu. Dibalik bualannya tentang Haji Saleh dan orang-orang saleh dibelakangnya yang ‘mendemo’ Tuhan dan mengira Tuhan salah memasukkan mereka ke neraka, terbersit asa bahwa Ajo Sidi si pembual itu amat teringin menatap bangsanya penuh bangga, berdikari dan anggun di mata dunia. Tak hanya tenggelam dalam euforia masa lalu tentang kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara, bangsa ini butuh kerja keras yang didapuk mental baja untuk membangun kembali puing-puing yang telah runtuh akibat kealpaan moyang kita masa kolonial dahulu.
Pun, revolusi mental plus kerja keras tak cukup baik untuk menikmati sunnatullah kemenangan itu. Perlu kesungguhan-yang dalam bahasa agama berarti khusyu’-yang berlapis-lapis untuk melengkapi hidangan lezat bernama kejayaan itu. Kesungguhan yang tak ditunjukkan si guru ngaji yang diprotes para muridnya itu malah menghantarkannya pada masalah baru, pinomat rasa malu, segan, dan berkurangnya nilai amal. Betapa merugi, semestinya yang diperolehnya dari ikhlas beramal itu dinilai full tank dan full thank malah melenggang meninggalkan rasa malu, segan dan kehilangan kepercayaan. Maka berakhirlah nasib si guru ngaji itu seperti guru ngaji-guru ngaji lainnya di bumi persada ini, tak dianggap, tak dihirau.
Maka, revolusi mental, kerja keras, plus kesungguhan adalah komposisi terbaik untuk menghasilkan maestro-maestro baru peradaban penerus tradisi kenabian, perjuangan da’wah agama mulia ini. Maka dinantilah kader-kader baru yang siap menyongsong masa depan penuh kegemilangan membawakan kembali ajaran mulia ini pada fitrahnya semula, ustadziyatul ‘alam (soko guru peradaban) nan rahmatan lil ’alamin dalam naungan Ilahi Rabbi.
Wallahu a’lam.
Seperti nama dan deskripsi yang saya ceritakan di awal, tentu anda dengan mudah saja menebak perangainya. Ia malas, tidak suka bermandi peluh di bawah sengatan matahari, tidak tertarik membanting tulang menghidupi anak dan istri. Setiap hari hanya satu kegiatannya, berkhayal akan melimpah ruahnya harta, dan ia tak perlu susah payah menghadirkan diri pada kesibukan mencari sesuap nasi. Dan begitu bangganya ia pada profesinya, penganggur yang setia, pendoa yang taat.
Singkat cerita, Kaslan dimarahi habis-habisan oleh istrinya. Sebab tak ada lagi sebarang benda pun dirumahnya, bahkan dapur sudah berhari-hari tak mengepul asapnya. Istrinya membentaknya keluar dari rumah, segera mencari kerja. Memang dasar tabiatnya yang berilham dari nama, bukan kerja yang dicarinya, justru tuan syekh yang diingatnya. Ia pun memutuskan berangkat menemui tuan syekh yang sudah masyhur mampu menyelesaikan persoalan dengan bijak. Untuk sampai di pondokan tuan syekh yang bijak itu, Kaslan harus melewati hutan. Di pintu hutan, berpapasan ia dengan seekor singa yang kurus, lemah, tak berdaya. Sudah beberapa hari singa itu tak mendapat mangsa seekor pun, dan terpaksalah ia menahan lapar. “Hai Kaslan, mau kemana engkau?” sapa singa itu dengan amat lemah. “Aku mau menemui tuan syekh yang tinggal di ujung hutan ini,” jawab Kaslan pula. “Apa perlumu menemui tuan syekh itu?” tanya singa itu, tak mengerti. “Aku ingin menanyakan cara meraih kekayaan dengan cepat,” jawab Kaslan dengan pongahnya. “Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong kepadamu? Aku sudah beberapa hari tidak makan, dan sekarang tubuhku amat lemas. Tolong tanyakan kepada tuan syekh itu apa obatnya agar aku bisa bugar kembali.” Singa itu mengajukan permohonan. “Baiklah, pertanyaanmu akan aku sampaikan. Aku harus cepat-cepat menemui tuan syekh itu, karena aku tak sabar ingin menjadi kaya.” Kaslan buru-buru masuk kedalam hutan meninggalkan singa yang tak lagi mampu berdiri itu.
Di perjalanan, masih di dalam hutan, Kaslan bertemu dengan sebatang pohon apel yang lebat bunganya, tak lama lagi akan berbuah. Namun pohon apel itu juga memiliki masalah yang pelik. Setiap musim berbunga, selalulah bunganya bersemi. Namun ketika musim berbuah tiba, ia tak dapat mengeluarkan buah. Bunganya selalu gugur sebelum berbuah. “Tolong tanyakan perihal masalahku ini kepada tuan syekh itu, wahai Kaslan!” pinta pohon apel itu kepada Kaslan. “Baik, akan aku sampaikan.” Kaslan mengabulkan pintanya. Lalu Kaslan mohon diri dan melanjutkan perjalanannya menemui tuan syekh itu.
Tak berapa lama setelah perjumpaannya dengan sebatang pohon apel yang malang, Kaslan bersua seekor ikan dalam telaga yang nelangsa. Ikan itu merasa amat sakit di tenggorokannya. Ia tak dapat menelan makanannya dengan sempurna. Dan sama seperti kedua makhluk yang sebelumnya, sang ikan pun menitipkan pesan pada Kaslan agar diberitakan obatnya segera. Sang ikan ingin segera sembuh dari penyakitnya.
Akhirnya, tibalah Kaslan di kediaman sang tuan syekh. Tuan syekh saat itu sedang duduk bertafakur. “Ada perlu apa kau kemari, Kaslan?” tanya tuan syekh itu tiba-tiba pada Kaslan. Kaslan terperanjat, tak disangka namanya telah dikenal oleh tuan syekh itu. “Dari mana tuan mengetahui nama saya?” tanyanya meminta penjelasan. “Tak perlu kau tahu dari mana aku mengenali namamu. Beritakan apa perlumu datang kemari!” perintah tuan syekh itu pada Kaslan. “Tuan, kedatangan hamba kemari ialah untuk menanyakan bagaimana caranya agar saya bisa menjadi kaya. Kiranya dapatlah Tuan memberitahukan kepada saya tentang caranya.” “Hajatmu akan segera terkabul. Lantas apalagi hal yang membuatmu datang kemari?” “Oh, saya hampir lupa. Di perjalanan saya bersua seekor singa yang kurus lagi lemah. Ia meminta untuk menanyakan kepada Tuan bagaimana agar ia bisa bugar kembali. Begitupun sebatang pohon apel, ia senantiasa berbunga tetapi tiada berbuah. Ia menanyakan bagaimana agar bunganya menjadi buah. Pun seekor ikan dalam telaga, tenggorokannya terasa sakit selalu. Dapatkah Tuan menjelaskan perihal penyakit ketiga mereka itu?” Kaslan menjelaskan persoalan ketiga makhluk yang ia jumpai sebelum sampai di rumah tuan syekh.
“Baiklah, adapun si ikan itu, di tenggorokannya tersangkut sebutir intan. Sebutir intan inilah yang membuat sakit tenggorokannya. Apabila sebutir intan itu dikeluarkan, maka dapatlah ia merasa lega. Adapun si pohon apel, di bawah akarnya tersimpan seonggok emas dan perak. Ia tak dapat mencapai makanannya disebabkan emas dan perak itu. Apabila dikeluarkan, maka ia dapat kembali tumbuh dengan subur. Dan si singa yang lunglai itu, maka obatnya ia harus memakan seorang lelaki yang malas dan tak berguna bagi keluarganya.” Demikianlah syekh itu memberi penjelasan terkait ketiga penyakit aneh itu.
Sebakda mendengar penerangan itu, Kaslan pun pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu kembali dengan seekor ikan. “Bagaimana, Kaslan?” tanya ikan itu. “Tuan syekh menjelaskan bahwa di tenggorokanmu itu ada sebutir intan. Apabila itu dikeluarkan, maka sakitmu akan sembuh,” jawab Kaslan. “Kalau begitu, tolonglah keluarkan intan itu. Apabila ia telah keluar, maka kau boleh memilikinya,” ikan itu mengiba. “Ah, aku tak mau bersusah payah. Tuan syekh sudah bilang kalau aku akan segera menjadi kaya,” jawab Kaslan, lalu pergi melanjutkan perjalanan. Selang beberapa lama, ia bersua pohon apel. “Bagaimana, Kaslan?” tanya pohon itu. “Tuan syekh mengatakan bahwa dibawah akarmu ada seonggok emas dan perak. Apabila itu dikeluarkan, maka kau akan berbuah kembali.” “Kalau begitu, tolonglah keluarkan emas dan perak itu. Apabila telah keluar, maka kau boleh memilikinya,” pohon apel itu menghiba. Seperti sebelumnya, Kaslan menolak dengan alasan ia akan segera kaya. Ia melanjutkan perjalanan. Setiba di pintu hutan, singa itu bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti ikan dan pohon apel. Maka Kaslan menjelaskan perihal obatnya, “Kau harus memakan lelaki yang malas dan tak berguna bagi keluarganya.” “Aha, kalau begitu aku tak perlu susah payah lagi. Orang itu telah hadir di depanku. Bersiaplah, Kaslan!” Singa itu dengan garangnya mencoba melahap tubuh Kaslan. Akan tetapi Kaslan dengan cepatnya menghindar dari singa itu. Ia berlari terengah-engah masuk ke dalam hutan. “Ah, memang benar. Aku adalah lelaki yang malas dan tak berguna bagi keluargaku. Mulai saat ini aku bertekad untuk mengubah nasibku. Aku harus bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan keluargaku,” demikian suara hati Kaslan. Ia kembali menemui pohon apel dan ikan, lalu menolong mereka. Akan tetapi, intan, emas, dan perak itu tak ia ambil bagi dirinya. “Ini akan kubagi-bagi pada seluruh fakir miskin yang kutemui sepanjang jalan.” Begitulah Kaslan. Ia mencari jalan lain pulang ke rumahnya.
Setiba di rumahnya, Kaslan bertekad menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan hanya itu, ia juga akan membuka ladang di belakang rumahnya dan menanam beberapa tanaman. Usahanya berkembang pesat, sehingga dalam waktu singkat ia dapat membeli beberapa kios di pasar. “Kalau melihat keadaan hari ini, rasanya tak pantas lagi engkau memakai nama Kaslan itu. Lebih baik namamu diganti saja menjadi Juhdan.” Begitulah istrinya menyarankan. Juhdan, yang berarti bekerja keras itu akhirnya disematkan menggantikan nama Kaslan yang pemalas. Juhdan dan istrinya dapat hidup bahagia kembali.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’ ‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’ ‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’ ‘Ya, Tuhanku.’ ‘apa kerjamu di dunia?’ ‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’ ‘Lain?’ ‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’ ‘Lain.’ ‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’ ‘Lain?’ Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan. ‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’ ‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’ ‘Lain?’ ‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’ ‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’ ‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’ ‘Masuk kamu.’ Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’ ‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’ ‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh. ‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’ ‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’ ‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh. ‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu. ‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh. ‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner. ‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’ ‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela. ‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’ Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’ Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan. ‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’ ‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’ ‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’ ‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’ ‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’ ‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’ ‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’ ‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’ ‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’ ‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’ ‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’ ‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’ ‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’ ‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’ ‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’ ‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’ ‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’ ‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’ ‘Ada, Tuhanku.’ ‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh. ‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah bualan Ajo Sidi. Bualan itulah yang menjatuhkan karakter Kakek hingga akhirnya Kakek menebas urat lehernya dengan pisau tajam yang sudah diasahnya, yang semestinya pisau itu ia hunjamkan kepada Ajo Sidi.
*
Di sebuah masjid pinggir jalan yang ramai, seorang lelaki tampak terbata-bata membaca huruf demi huruf hijaiyah didalam kitab suci Al-Qur’an dengan dipandu seorang lelaki yang menjadi mentor mengajinya. Sang mentor tampak tak begitu menyimak bacaan murid didiknya. Ia lebih sibuk memainkan jarinya pada layar touchscreen handphone temannya. Ia lebih khusyu’ membuka media sosial, melihat apa saja ‘status’ teman-temannya, dan mengomentari beberapa diantaranya. Secara tiba-tiba, lelaki yang sedang mengaji itu menghentikan aktivitas mengajinya. Ia lalu menutup mushafnya dan menyimpannya kembali di tempat semula. Sang mentor yang dari tadi asyik berselancar di media sosial baru mengangkat kepalanya. Ia tak sadar kalau muridnya sedari tadi telah menutup mushafnya. Ia baru benar-benar sadar ketika muridnya mengatakan sesuatu yang kemudian menyadarkan hatinya. “Untuk apa lagi dilanjutkan mengaji, gurunya pun tidak memperhatikan. Nanti salah-salah baca berdosa pulalah jadinya.” Begitu sang murid dengan logat Karo yang kental, lalu pergi meninggalkan sang guru.
*
Insiden sang guru bukan hanya terjadi disitu saja. Ia juga pernah ‘disemprot’ dua murid kecilnya kala mengantuk saat murid-muridnya menyodorkan hafalan surah-surah pendek. “Abi kok tidur? Kita kan belum selesai. Abi gimana sih?” Begitulah murid-murid kecilnya memprotes guru ngaji yang mengantuk itu. Protes-protes dari murid-muridnya inilah yang kemudian membuat sang guru ngaji itu menerbitkan tulisan ini.
*
Kita sering merasa sepele pada suatu hal, meski terkadang sepele kita itu tak beralasan. Naluri alami kemanusiaan itu begitu mengurat mengakar dalam jiwa kita. Kita memandang bahwa sesuatu ini begitu gampang dikerjakan, sehingga terkadang menggantung hingga menunda pekerjaan itu. Lalu ketika pekerjaan itu sudah mendadak waktunya dan ia harus dikerjakan saat itu juga, barulah kita kucar-kacir, istilah Medannya kalangkabut. Kita sering memasang target sejauh mungkin, cita-cita setinggi langit. Namun apa yang kita lakukan sering berseberangan dengan target, cita-cita, harapan, obsesi yang jauh panggang dari api. Banyak yang memimpikan menjadi seorang yang kaya raya, punya istri cantik jelita, punya kebun, ladang, dan sawah dimana-mana, namun hanya membayangkan itu semua dari kasur yang bahkan tak pernah dibersihkan, pada pagi yang tak pernah lagi dirasakan karena bangun kelewat siang.
Adalah Kaslan, berkembang dan hidup sesuai namanya. Tiduran seharian dengan jiwa yang apatis pada nasib keluarga menjadi pola hidupnya sehari-hari. Istri yang terlalu bersabar hingga akhirnya menumpahkan habis semua kekecewaannya pada suami pemalas itulah yang membuat Kaslan dapat mengubah namanya menjadi Juhdan. Seluruh perjalanannya di hutan menemui tuan syekh yang terkenal ampuh membasmi kebatilan, dengan pengalaman bersua singa yang lapar, pohon apel yang tak hendak berbuah, dan ikan yang sakit tenggorokan itu pun menjadi penunjang semangatnya memulai hari yang baru dengan semangat yang tak kalah baru pula. Ia jadikan semua itu ibroh bagi jalan hidupnya, nutrisi bagi tekadnya menapaki hidup yang lebih baik. Hijrah yang ia lakukan itu berbuah manis pada ujungnya, istrinya tak lagi marah kepadanya bersebab habisnya perabotan rumah terjual semua.
Kaslan, mungkin perjalanannya tak seliku Ibn Hajar yang bebal lalu menemukan sebuah batu yang bolong di tengahnya. Tak mesti frustrasi menjalani hidup sepertinya. Ia berangkat dari keterpaksaan, dan dari keterpaksaan itulah tumbuh motivasinya. Revolusi mental! Bahwa jika ingin mendapat mutiara tidak mesti menceburkan diri ke laut, paling tidak ada tekad kuat dan peluh bercucur untuk mutiara itu. Kaslan, beroleh intan bukan menjatuhkan dirinya ke perut bumi, justru intan itu tersangkut pada tenggorokan seekor ikan di hutan. Kita tak mesti membanting raga untuk mencapai sesuatu, setidaknya ada nyali sebagai bekal melepas busur. Revolusi mental bukan semata-mata jargon yang terus dikampanyekan untuk menarik minat rakyat agar memilih kita sebagai pemimpin, ia adalah keniscayaan, ia adalah batu loncatan bila kita hendak melaju lebih jauh. Revolusi mental bukan semboyan nisbi agar seluruh rakyat patuh pada kebijakan negeri, ia adalah semangat membangkitkan raksasa tidur yang terbuai kemilau duniawi.
Tetapi, revolusi mental tanpa kerja keras pun hanyalah pepesan kosong. Ia bak khayalan nisbi tanpa amal yang berarti. Ia bagai bola lampu yang padam, sinarnya tak mampu menembus sekat-sekat bernama sunnatullah kemenangan. Seorang Haji Saleh yang amat tekun beribadah toh tak mampu menyelamatkan dirinya dari ancaman neraka yang selama ini ditakutinya, konon lagi seorang garin tua yang lama menghabiskan usia di surau, tak berbini tak berdzurriat. Ibadah yang tekun tanpa kesalehan hakiki sebagai hamba yang diamanahi bumi untuk menjaga dan memanfaatkan karunia Ilahi hanyalah isapan jempol. Toh, kalau kita mencermati ayat-ayat perintah ibadah tak lebih dari sepuluh persen Kalam Ilahi. Maka, setidaknya dalam hal ini benarlah Ajo Sidi, si pembual itu. Dibalik bualannya tentang Haji Saleh dan orang-orang saleh dibelakangnya yang ‘mendemo’ Tuhan dan mengira Tuhan salah memasukkan mereka ke neraka, terbersit asa bahwa Ajo Sidi si pembual itu amat teringin menatap bangsanya penuh bangga, berdikari dan anggun di mata dunia. Tak hanya tenggelam dalam euforia masa lalu tentang kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara, bangsa ini butuh kerja keras yang didapuk mental baja untuk membangun kembali puing-puing yang telah runtuh akibat kealpaan moyang kita masa kolonial dahulu.
Maka, revolusi mental, kerja keras, plus kesungguhan adalah komposisi terbaik untuk menghasilkan maestro-maestro baru peradaban penerus tradisi kenabian, perjuangan da’wah agama mulia ini. Maka dinantilah kader-kader baru yang siap menyongsong masa depan penuh kegemilangan membawakan kembali ajaran mulia ini pada fitrahnya semula, ustadziyatul ‘alam (soko guru peradaban) nan rahmatan lil ’alamin dalam naungan Ilahi Rabbi.
Wallahu a’lam.
Dalam damai cinta, pada haru rindu,
Mahathir Matondang
Post a Comment