Jika studi Islam difokuskan pada masalah pendidikan, maka melalui pendekatan sejarah ditemukan berbagai keterangan yang terkait dengan pendidikan Islam sepanjang sejarah. Perkembangan pendidikan Islam dapat kita kategorikan periode-periode sebagai berikut:
1. Periode Awal proses Nabi SAW menyampaikan ajaran Islam di Mekkah
Dalam periode ini pendidikan Islam lebih memfokuskan pada menginternalisasi atau mentranspormasikan nilai-nilai fundamental yaitu keimanan yang tauchidy, karena iman menjadi daya dorong terhadap amal perbuatan.
Pendidikan Islam dalam periode ini berlangsug secara individual dan kelompok di masjid-masjid dan rumah-rumah para sahabat (rumah al-Aqram Ibn al-Aqram dan sebagainya), serta al-Kuttab bagi anak-anak untuk belajar dan tulis huruf Al-Quran. Selama periode ini, Nabi lebih membina pengikut-pengikutnya menjadi orang mukmin yang memercayai ke-Rasulan Nabi melaui pendidikan individual dan keluarga.
2. Periode Khulafa Ar-Rasyidin
Pada periode Khulafa Ar-Rasyidin
Sistem pendidikan masih seperti sistem yang berkembang pada zaman Nabi Muhammad masih hidup, yaitu halaqah-halaqah di masjid; pengajian-pengajian di rumah sahabat dan untuk anak-anak di al-Kuttab.
Periode ini semangat belajar-mengajar digalakkan melaui perintah-perintah Allah yang mengandug motivasi untuk mencari ilmu, seperti firman-firmannya:
“Apakah sama derajatnya orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui…”. “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”, dan firman Allah lainnya: “Bertanyalah kepada orang–orang yang berilmu pengetahua jka kamu tidak mengetahuinya”.
Sumber motivasi itulah yang dikembangkan di kalangan umat Islam yang sudah dewasa saja, sehingga mendasari kegiatan belajar-mengajar mereka.
Namun proses kegiatan belajar-mengajar tersebut tidak lepas dari kekuasaan politis Islam pada periode itu.
Secara institusional, pendidikan Islam pada periode Khulafa Ar-Rasyidin ini belum banyak dikembangkan, juga materi-materi pelajaran yang diajarkan masih terbatas pada pelajaran Agama, menulis dan membaca Al-Quran serta menghafal syair-syair dan beberapa ayat Al-Quran.
3. Periode Dinasti-dinasti Khalifat Umayyah, Abbasuyah dan Fathimiyah
Ketika agama Islam tersebar ke daerah-daerah sekitar Arabia yang penduduknya telah dikuasai berbudaya atau peradaban seperti daerah-daerah yang dikuasai oleh kerajaan Byzantium (Romawi) dan Persia, maka peradaban Islam mengalami perkembangan yang lebih meluas.
Sikap toleransi terhadap ahli Kitab dari Yahudi dan Nashrani sedikit banyak memberikan sikap lentur Islam dalam proses pembentukan peradaban baru Islam yang makin meluas rentangannya, tidak hanya unsur-unsur etika, filsafat, dan bahasa yang berkembang, akan tetapi kebudayaan materil dan ilmu pengetahuan yang berasal dari Persia dan Yunani pun diterima secara terbuka dalam batas-batas tertentu.
Institusi-institusi pendidikan Islam yang telah berkembang sebelumnya yang terdiri dari Al-Kuttab, Masjid, dan kelompok-kelompok belajar seperti Al-Halaqah, mngajarkan dan menelaah ilmu-ilmu pengetahuan yang non-agamis (sekuler) disamping tetap mengajarkan ilmu agama dan baca-tulis huruf Al-Quran. Namun institusi yang paling universal yang dapat berkembang adalah Al-Kuttab atau Maktab pada permulaan abad 4 H.
Perkembangan periode ini dimulai pada abad ke-2 H, ketika kerajaan Islam dibentuk oleh dinasti-dinasti Umayyah di Damaskus, disusul Daulah Abbasiyah di Baghdad, lalu Daulah Fathimiyah di Mesir, dan terakhir oleh Ottoman di Turki.
Tahap demi tahap perkembangan pendidikan Islam berjalan seiring dengan perkembangan peradaban Islam yang mendapat dorongan baru akibat kontaknya dengan peradaban Yunani dan Persia serta akibat dari penyerapannya terhadap sejumlah unsur peradaban Yahudi dan Nashrani.
Dalam upaya mengembangkan pemikiran terhadap peradaban baru dari Yunani dan Persia, para khalifah Umayyah memperbanyak buku-buku ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga umat Islam dapat memperkaya perpustakaan dengan kitab-kitab yang dikelola oleh para penguasa (Khalifah) dari masing-masing dinasti.
Kurikulum madrasah dalam sepanjang perkembangannya baik di Timur (Daulah Abbasiyah) maupun di Barat (Daulah Umayyah dan Fathimiyah) sampai di Spanyol Islam, amat bervariasi. Namun kurikulum mereka berpusat pada beberapa jenis ilmu tertentu yang khas, yaitu: terdiri dari Ilmu Tafsir (Al-Quran), Ilmu Tauhid (Theologi), Ilmu Fiqh, sedangkan Filsafat tidak mendapatkan tempat di dalam madrasah baik di Timur maupun Barat, walaupun di masa berikutnya madrasah bersikap toleran terhadap Filsafat.
Para Khalifah atau Sultan, penguasa pemerintahan pada periode ini bila mendirikan institusi pendidikan baik tingkat dasar maupun tinggi, baik untuk mengajarkan Al-Quran maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan non-agamis, tenaga edukatifnya digaji oleh pemerintah sedang siswa-siswanya mendapat buku-buku pelajaran secara cuma-cuma (gratis).
Lembaga Al-Kuttab berkembang sampai ke Spanyol yang berubah fungsi menjadi madrasah biasa dengan guru-gurunya yang digaji oleh pemerintah, terutama pada masa Khalifah Al-Hakam II di Cordova, banyak mendirikan madrasah negeri dibiayai dengan anggaran negara. Salah satunya adalah Bayt al-Hikmah (“Rumah Kebijaksanaan”).
Bayt al-Hikmah yang terkenal itu mungkin memang ada dalam kenyataannya pada suatu waktu dan tempat, bukan sebuah akademi secara fisikal: nama megah yang diberikan kepada salah satu periode lintas-budaya intelektual dan produksi ilmiah umat manusia yang paling subur—dengan Baghdad sebagai magnet dan titik tumpu dari sekitar tahun 760 hingga 900 M. Begitu pula, Bayt al-Hikmah milik kekhalifahan Umayyah merupakan metropolis Cordova itu sendiri, Baghdad di Guadalquivir. Aliran ilmu pengetahuan dan filsafat Bulan Subur ke al-Andalusia meningkat dalam volume bahkan saat semenanjung Iberia menjadi retak secara politis dan semakin dicabik-cabik perang pada abad ke-11.
4. Periode Kemunduran
Periode pertengahan merupakan periode kemunduran peradaban Islam, dimana secara politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan umat Islam berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terutama setelah penyerangan Hulagu Khan dari Mongol yang membumi-hanguskan kekuatan Daulah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1257H.
Pada periode ini pendekatan sejarah dalam studi Islam secara umum tidak dilakukan lagi oleh umat Islam. Hal itu disebabkan karena stagnasi ilmu pengetahuan Islam yang ditandai dengan minimnya karya ilmiah baru di berbagai bidang, termasuk sejarah.
Sementara itu, di negara-negara Eropa dan Amerika yang non-muslim, masa pertengahan dalam periode sejarah Islam ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuannya, suatu hal yang menjadikan studi agama dikalangan mereka berkembang pesat pada abad ke-19 dan 20 M.
Setelah abad ke-14 M dunia Islam sedikit demi sedikit tenggelam ke dalam kebekuan dan keterbelakangan, terutama akibat datangnya penjajahan Barat yang selain berpolitik devide et impera, juga berpolitik pendidikan yang melemahkan semangat Islam murni, sampai munculnya ulama pembaharuan seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya pada akhir abad ke-19 di Mesir yang mengajak umat seluruh dunia untuk bangkit dan mengkaji kembali ajaran Islam yang murni dan dinamis, disusul para pembaharu Islam di wilayah Negara Turki dengan gerakan nasionalisme, westernisme dan Islamisme dibawah kepeloporan ilmuwan dan politikus yang tergabung dalam gerakan Turki Muda yang dikenal di antaranya adalah Mustafa Kemal Attaturk. Dan di Saudi Arabia dengan tokohnya Muhammad bin Abdul Wahab. Di India timbul gerakan pembaharuan selain menentang penjajahan Inggris, juga gerakan kembali ke ajaran murni Islam dibawah pelopor ilmuwan Syah Waliyullah dan putranya, Syah Abdul Aziz (1746-1823) yang dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya antara lain Sayyid Ahmad Syahid yang memandang umat Islam India mundur karena agama Islam yang dipeluknya tidak lagi murni, telah bercampur dengan unsur-unsur Hinduisme dan Persiisme.
5. Peiode Kemerdekaan
Sejak mulai tahun empat puluhan, satu per-satu negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam melepaskan diri dari penjajahan Barat secara politis, maka mulailah umat Islam bangkit kembali mempelajari agama Islam yang murni dari sumbernya melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai Negara.
Para ilmuwan ulama dan ulama ilmuwan mulai sadar akan kelemahan-kelemahan umat Islam karena sikap dan pandangannya yang beku dan kurang mengacu kepada kebutuhan modernisasi kehidupannya.
Di akhir abad ke-18 awal abad ke-19, muncul seorang sejarawan yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama Abdurrahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M) dengan menggunakan da mengembangkan corak penulisan sejarah melalui metode Hawliyat ditambah dengan metode Maudu’iyat (tematik).
Baru pada abad ke-20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya dan ilmu pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan historiografi Islam dengan metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh, total, atau global, tidak hanya satu sosial saja dengan mencontoh metode dan pendekatan yang berkembang di dunia Barat.
Sumber Referensi:
1. “Islam Membangun Peradaban Dunia” karya Abu’l Hasan Ali al-Nadwi
2. “Advanced Learning History 1” karya Supriana Nana
3. “Ilmu Pendidikan Islam” karya H. Muhammad Arifin
4. “The Greatness of Al-Andalus *Ketika Islam Mewarnai Peradaban Barat” karya David Levering Lewis
5. “Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami Islam” karya Faisar Ananda Arfa dkk
6. “Islam ditinjau dari Berbagai Aspek” karya Harun Nasution
Post a Comment