BREAKING NEWS

Peran Akal Dalam Meraih Iman

Oleh : Muhammad Ifroh Hasyim

(Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (Q.S. Ibrahim [14] : 52)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa akal dan wahyu ibarat mata dan cahaya, “Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al-Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/338-339).

Akal adalah pembeda satu-satunya antara manusia dan hewan, yang dengan akalnya itu maka manusia diperintahkan untuk beriman kepada Allah Swt. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim yang tertulis di dalam Al-Qur’an “dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. "dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat." kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan. (Q.S. Al-An’am [6]:74-79)

Dari ayat tersebut, kita bisa menarik pelajaran bahwa Nabi Ibrahim menggunakan akalnya dengan baik untuk berfikir bahwa Tuhan tidak mungkin bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketika masyarakat yang ada di sekitarnya hanya mengikuti kepercayaan-kepercayaan nenek moyang mereka, dengan menjadikan patung-patung sebagai bentuk penyekutuan terhadap Allah Swt. yang dengan tangan mereka sendiri berhala-berhala itu dibuat. Berbeda halnya dengan Nabi Ibrahim yang berfikir tentang ayat-ayat kauniyah dan akhirnya mendapatkan petunjuk (hidayah) dari proses berpikirnya.

Fakta tersebut menghantarkan kita pada kesimpulan bahwa, keimanan seseorang itu dibina dengan menggunakan akal, Allah Swt telah memberikan ratusan perintah di dalam Al-Qur’an agar manusia menggunakan akalnya untuk mendapatkan keimanan, baik melalui ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda di alam) yang diciptakan-Nya, ataupun dengan mentadabburi ayat-ayat qauliyah (Al-Qur’an) yang diturunkannya. Bahkan Allah Swt menjamin bahwa orang yang tidak menggunakan akalnya dengan baik untuk memikirkan tanda-tanda dari Allah adalah orang-orang yang lalai dan berkesudahan di neraka Allah. “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S Al-A’raf [7] : 179)

Mari sejenak menelaah ayat pertama yang diturunkan Allah Swt. Iqra’, apabila kita lihat dari segi bahasa, kata ini memiliki makna membaca, memikirkan, menghimpun informasi, menelaah, mendalami, meneliti, menyelidiki, mengumandangkan dan menyampaikan. Kata Iqra’ apabila dirangkai dengan kata Ismun yang dalam arti luas berarti nama atau tanda. Dengan kata lain ketika ayat ini diturunkan maka Tuhan pencipta semesta alam memerintahkan kita untuk ‘membaca’ atau berpikir tentang seluruh tanda-tanda yang dapat di indra. Aktifitas ‘membaca’ atau berpikir ini dilakukan agar kita selaku makhluk-Nya mengetahui, siapa Tuhan yang telah menciptakan kita , yang awalnya hanya dari segumpal darah, hingga menjadi manusia yang memiliki mata, telinga dan alat indra lainnya yang bisa dijadikan jalan untuk merasakan nikmat yang telah dikaruniakan Allah Swt. Sekaligus menegaskan bahwa Tuhan yang menciptakannya adalah Maha pemurah, sebagaimana yang terdapat pada ayat ketiga surah Al-Alaq.

Maka istilah Islam keturunan itu ada, ketika seorang muslim tidak memahami alasan keislamannya, dia tidak pernah memikirkan ayat-ayat kauniyah maupun ayat-ayat qauliyah Allah. Hanya sibuk memikirkan urusan dunia, tanpa pernah berhenti sebentar, lalu mentafakkuri apa yang sudah Allah ciptakan, menjadikan dunia dan kesibukannya sebagai berhala modern. Seolah lupa dengan syahadat yang memiliki arti sebagai pengakuan, kesaksian, proklamasi, kesepakatan, akad, janji setia atau komitmen. Yang dengan hal itu, mengharuskan adanya sesuatu yang disaksikan dan disadari oleh seorang Muslim, sehingga dia paham dan yakin bahwa sesungguhnya tidak ada yang perlu disembah, ditakuti dan dimintai pertolongan kecuali Allah Swt.

Syahadat seharusnya muncul dari pergolakan pemikiran, bukan taqlid (ikut-ikutan) karena seorang yang taqlid tidak akan menyadari dan mempunyai bukti, sehingga menjadikan persaksiannya kosong. Apabila diibaratkan, persaksian itu seperti pengakuan seorang atlet tinju kepada lawannya ketika dia sudah bertarung, lalu kalah maka ia akan menyadari bahwa dirinya lemah dibanding lawannya, lalu mengatakan “ saya akui dia memang hebat”. Namun apabila lawannya belum kalah, maka pengakuan itu tidak bermakna.

Sama halnya seperti kita, manusia yang telah ‘bertarung’ dan membuktikan ke-Maha kuasaan Allah Swt, akan mengakui kehebatan Allah, dan pada saat yang sama akan menyadari kelemahan-kelemahan dan semua keterbatasan diri di hadapan Allah. Pengakuan inilah yang disebut dengan syahadat. Pengakuan bahwa diri kita lemah, terbatas, bodoh, tidak mengetahui, saling memerlukan, dan banyak kelemahan-kelemahan lainnya.

Maka adapun aktualisasi keimana kita yang secara istilah bermakna, membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, serta mengerjakan dengan anggota tubuh, janganlah sampai melanggar batas-batas yang telah Allah tetapkan. Akal yang telah Allah karuniakan, mampu kita maksimalkan hanya untuk mengabdi kepada-Nya, seperti akar yang menyerap unsur hara, maka akal menyerap pemahaman sehingga menguatkan iman. Bukan malah sebaliknya, menggunakan akal sebagai alat untuk menentang ketetapan-ketetapan Allah, menjadikannya dalil utama tanpa menjadikan wahyu sebagai sumber utama. Seperti mata tanpa cahaya, maka ia tidak akan berfungsi, seolah berjalan dalam kegelapan.

Wallahu A’lam bis shawab

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Menulis Artikel Forum Ittihadul Muslimin dengan tema "Pemuda-Islam-Dan Persatuan Umat"


Lomba Menulis Artikel Forum Ittihadul Muslimin, Artikel Islam, Artikel Menyentuh hati

Share this:

2 comments :

 
Back To Top
Copyright © 2014 ItmusMedia.Com. Designed by OddThemes